قيل عن الحسين بن علي رضي الله عنهما أنه بلغه عن رجل
كلام يكرهه فأخذ طبقًا مملوءًا من التمر الجني وحمله بنفسه إلي دار ذلك الرجل فطرق
الباب فقام الرجل وفتح الباب فنظر إلي الحيسن ومعه الطبق فقال: وما هذا يا ابن بنت
رسول الله؟ قال: خذه فإنه بلغني عنك أنك أهديت إليّ حسناتك فقابلت بهذا
Dikisahkan
tentang Sayyidina Husain bin Ali radiyallahu ‘anhumâ bahwa telah sampai
kepadanya perkataan seseorang yang tidak menyenangkannya, kemudian ia mengambil
piring besar dan memenuhinya dengan kurma yang baru saja dipetik. Ia membawanya
sendiri ke rumah orang yang berkata tidak menyenangkan itu.
Sayyidina
Husain mengetuk pintu rumah orang itu. Orang itu berdiri membukanya. Ia
melihatnya membawa piring besar yang penuh dengan kurma. Orang itu bertanya:
“Apa ini, wahai cucu Rasulullah?”
Sayyidina
Husain menjawab: “Ambillah piring penuh kurma ini, karena telah sampai kepadaku
bahwa kau telah menghadiahkan amal kebaikanmu padaku, maka aku ganti dengan
ini.” (Imam Abû Hâmid al-Ghazali, al-Tibr al-Masbûk fî Nashîhah al-Mulûk,
Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1988, hlm. 24-25)
****
Penghinaan
seringkali disikapi dengan kemarahan. Itu bukan hal yang aneh, karena memang
wajar. Siapa pun yang dihina, dia akan tersinggung dan marah. Pertanyaannya, ke
mana kemarahan itu menuju dan menjadi apa kemarahan itu?
Rasulullah
bersabda (HR Imam al-Bukhari): “lâ taghdab—jangan marah.” Tidak hanya
berhenti sampai di situ, dalam riwayat lain terdapat tambahan (HR Imam
al-Thabrânî): “lâ taghdab, wa laka al-jannah—jangan marah dan untukmu
surga.” Dengan kata lain, kemarahan bisa membuat orang kehilangan peluang masuk
surga dan mengantarkannya lebih dekat ke pintu neraka. Untuk memperjelas, mari
kita kaji lebih dalam lagi.
Apa yang
dilakukan Sayyidina Husain dalam kisah di atas tidak sesederhana yang
dibayangkan. Ia membawa formula “lâ taghdab” ke tingkat yang lebih
tinggi, tidak sekedar bermain di wilayah menahan (sabar), tapi juga memasuki
wilayah bersyukur. Kita tahu, kompetensi dasar “tidak marah” adalah menahan
diri (sabar). Dengan menahan diri, Allah sudah menjanjikan kita surga. Dan
perlu diingat, menahan diri itu tidak mudah. Siapapun orangnya pasti pernah
mengalaminya, yang membedakannya adalah berubah menjadi apa kemarahan itu.
Dalam kisah
di atas, Sayyidina Husain menampilkan sikap yang sukar dimengerti oleh manusia
pada umumnya. Ia mengekspresikan kemarahannya dengan wajah syukur. Memberikan
sepiring besar kurma sebagai ganti amal baik yang telah berpindah kepadanya.
Karena dalam Islam ada hukum yang mengajarkan, jika ada orang yang bicara buruk
tentang seseorang, amal baiknya akan berpindah ke orang yang
dibicarakannya.
Sayyidina
Husain tidak mau menerima amal baik orang lain dengan cuma-cuma. Ia harus
menggantinya dengan sesuatu yang langsung terasa manfaatnya oleh orang
tersebut. Bagaimana tidak, ia telah mendapatkan manfaat langsung dari ucapan
buruk orang tersebut, maka ia harus melakukan hal yang sama, memberikan sesuatu
yang bermanfaat secara langsung padanya. Baginya, mengambil manfaat tanpa
mendermakan balasan yang setara termasuk perbuatan yang tidak terpuji.
Jauh sebelum
Sayyidina Husain, Nabi Isa as pernah menyampaikan nasihat kepada Nabi Yahya as
agar menghadapi gunjingan dan kebohongan dengan syukur kepada Allah. Artinya,
pola sikap semacam ini merupakan sikap yang ditunjukkan oleh para nabi,
kemudian diteruskan oleh para wali dan ulama yang shalih. Nabi Isa as berkata:
وإن قال فيك كذبًا فازددْ من الشكر فإنه يزيد في ديوان
أعمالك وأنت مستريح، يعني أن حسناته تكتب لك في ديوانك
“Jika
seseorang berkata dusta tentang dirimu, maka tambahkan syukurmu. Karena
sebenarnya dia sedang menambah amalmu di buku catatan (amalmu) dan kau pun
menjadi orang yang damai. Maksudnya adalah bahwa amal baik orang itu akan
dicatat atas namamu dalam buku catatan (amalmu).” (Imam Abû Hâmid al-Ghazali, al-Tibr
al-Masbûk fî Nashîhah al-Mulûk, 1988, hlm. 24)
Dilihat dari
sudut pandang lain, sebagai penerus tradisi para nabi, tindakan Sayyidina
Husain juga menunjukkan keadilan yang luar biasa. Dengan menerima hinaan atau
gunjingan dari orang lain, ia mendapatkan dua kebaikan sekaligus; kebaikan dari
keberhasilannya menahan amarah, dan kebaikan dari pindahnya amal baik orang
lain kepadanya. Karena itu, ia memberikan sesuatu sebagai bentuk keadilan
kepada orang yang telah berjasa kepadanya, meski jasa itu dilakukan dengan cara
yang tidak beretika.
Selain itu,
ia juga menampakkan akhlak mulia. Sikapnya berhasil meninggalkan kesan mendalam
di hati si penggunjing atau penghinanya. Bisa jadi ini merupakan gambaran
paling sesuai mengenai dakwah bil hikmah. Dakwah yang muncul dari
penerapan kaidah agama di tataran ideal tertingginya, sehingga menyentuh hati
orang tanpa harus membuat-buat sesuatu.
Ini membuat
kita jadi tahu bahwa satu ajaran agama jika diamalkan dalam tataran idealnya
dapat membuka banyak pintu amal-amal lainnya. Berbeda jika pengamalan ajaran
agama berada di batas “hanya sekedarnya saja”. Misalnya anjuran “lâ taghdab—jangan
marah” dilakukan hanya sekedarnya saja tanpa membawanya ke wilayah syukur, adil
dan wilayah-wilayah lainnya.
Hal ini sama
sekali tidak bertentangan dengan pakem “mengamalkan agama semampunya.” Karena
bahasa “semampunya” sebenarnya bahasa yang tidak memiliki batas yang jelas,
tergantung pada setiap individu. Artinya setiap orang memiliki batas kemampuan
yang berbeda-beda. Kemampuan manusia berkembang setiap harinya. Jadi, yang
perlu dilakukan oleh manusia adalah melebarkan ruang kemampuannya untuk
meningkatkan pengamalan agamanya ke level yang lebih tinggi. Yang terpenting
adalah jangan sampai berlebih-lebihan.
Kesimpulannya,
kisah di atas merupakan pelajaran besar bagi kita agar meningkatkan standar
kompetensi kita tentang “jangan marah”. Bahwa sabar tidak hanya diam menerima
hinaan dan gunjingan, tapi mewujud juga dalam bentuk syukur dan adil. Kita pun
harus sadar bahwa kita sedang menerima kebaikan (pahala) dari orang yang
berbicara buruk tentang kita. Jika kita sadar akan hal itu, harapannya kita
akan lebih mudah menerima semua kebencian tentang kita. Pertanyaannya,
pernahkah kita mengatakan “jangan marah” di saat kita sedang marah?
Semoga
bermanfaat...
Muhammad
Afiq Zahara, alumni
Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen dan Pondok
Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan.
(Sumber: http://www.nu.or.id/post/read/104065/ketika-sayyidina-husain-dihina)
Komentar
Posting Komentar